Jakarta – Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menegaskan RUU KUHP yang sedang disempurnakan menjadi ikhtiar membawa hukum pidana di Indonesia menuju hukum modern dan mencerminkan nilai asli bangsa.
“RUU KUHP merupakan jalan menuju hukum pidana modern, yang saat ini masih terjebak di masa lalu. Urgensi dan kepentingan pembentukannya berada pada titik kulminasi,” ujar Jaleswari dalam acara Diskusi Publik RKUHP di Bandung, Jawa Barat, Rabu, sebagaimana siaran pers yang diterima dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dia menekankan RUU KUHP yang saat ini dibentuk memerlukan dukungan seluruh komponen bangsa, agar hukum pidana Indonesia dapat menuju hukum pidana yang modern yang berasal dari cerminan nilai asli Indonesia.
Pemerintah dikatakannya akan terus memastikan bahwa kodifikasi hukum pidana melalui RUU KUHP akan lahir sebagai ikhtiar bersama seluruh komponen bangsa untuk membawa kepastian hukum di Indonesia.
Ia menyampaikan, Presiden Joko Widodo telah mengarahkan agar isu-isu krusial RUU KUHP terus didiskusikan secara masif untuk menghasilkan perspektif yang simetris di masyarakat.
“Dialog Publik hari ini merupakan salah satu arahan tersebut. Mengingat RUU KUHP saat ini terdiri lebih dari 600 pasal tentu dari besarnya kuantitas pasal tersebut terdapat beberapa ketentuan yang menyita publik. Oleh karenanya memerlukan penjelasan secara lebih mendalam,” sebutnya.
Pembahasan isu-isu krusial RUU KUHP diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan menyerap aspirasi masyarakat secara lebih efektif sebagai salah satu bagian dari rangkaian proses pembentukan RUU KUHP.
Oleh karena itu, KSP dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Tim Dialog Publik RUU KUHP menggelar acara “Dialog Publik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP)” di Bandung.
Jaleswari menyampaikan dialog publik merupakan salah satu upaya mencapai tujuan penjelasan dari RUU KUHP dan secara simultan turut menyerap masukan-masukan publik untuk terus menyempurnakan formulasi RUU KUHP.
Selain itu, di antara 600 pasal pada RUU KUHP pula, telah lahir berbagai ketentuan terobosan yang jarang terdengar dan pada prinsipnya dapat menjadi acuan dalam memaknai Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi keadilan serta hak asasi manusia.
“Sebagai contoh konsep judicial problem, berbagai alternatif pemidanaan dan banyak ketentuan lainnya yang akan dipaparkan oleh para narasumber,” ujar Jaleswari.
Dia menambahkan terjadinya pro dan kontra merupakan hal yang wajar dalam setiap pembentukan produk hukum, namun yang terpenting adalah bagaimana meletakkan dinamika tersebut dalam porsi-nya.
Ia mengingatkan perbuatan pidana akan lebih efektif dicegah melalui kepastian dari hukuman, bukan dari beratnya hukuman. RUU KUHP yang tengah disusun akan memberikan kepastian hukum pidana Indonesia yang jauh lebih baik dari status quo dan dengan berbagai alternatif pemidanaan-pemidanaan yang dirumuskan.
“RUU KUHP juga telah perlahan meninggalkan perspektif balas dendam yang tradisional menuju ke arah prinsip-prinsip pemidanaan yang berangkat dari asas keseimbangan. Semoga ikhtiar kita bersama dapat menghasilkan kontribusi terbaik untuk Indonesia,” jelasnya.
Masyarakat, waktu, dan budaya berubah
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD dalam acara itu menyampaikan situasi politik, sosial, dan budaya di Indonesia sejak era kolonialisme hingga kemerdekaan mengharuskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sesuai dengan perkembangan zaman.
“Masyarakat, waktu, dan budaya berubah. Tentunya hukum juga harus menyesuaikan dengan keadaan itu juga,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, tuntutan KUHP yang sesuai perkembangan zaman tersebut sesuai dengan pendapat para pakar hukum, di antaranya K.C.Wheare, penulis buku “The Modern Constitution”, ulama abad pertengahan Ibnu Jauzi al Jauziyah, serta Imam as Syafii.
Dia mengatakan Kitab Suci Al Quran juga mengatur mengenai keharusan aturan hukum di masyarakat, di mana masyarakat harus patuh dan mengikuti hukum yang sesuai dengan keadaan.
Diungkapkan Mahfud, gagasan perubahan KUHP sudah ada sejak 1963 atau sejak 59 tahun silam. Tindak lanjut perubahan KUHP juga sudah dilakukan Universitas Indonesia (UI) dengan membentuk Program Studi Hukum dan Masyarakat.
Sejak 2015, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membahas RUU KUHP secara intensif dan komprehensif. Akan tetapi, pada 26 September 2019, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), melalui surat Nomor M.HH.PR.05.01-38 menyampaikan permohonan penundaan pelaksanaan rapat paripurna RUU KUHP.
Hal tersebut didasarkan pada hasil pertemuan antara Presiden dengan Pimpinan DPR dan Pimpinan Komisi III DPR.
Pemerintah berpandangan bahwa masih perlu diskusi yang lebih mendalam yang dilakukan secara bersama-sama agar dicapai perspektif yang simetris di masyarakat terkait RUU KUHP tersebut. (Ant)