Makassar – Pemanfaatan potensi sumber daya alam, khususnya gas dan minyak yang dimiliki Indonesia sudah mencapai 131 tahun sejak penemuan perdana sumur minyak bumi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada 15 Juni 1889.
Rentang waktu yang begitu lama dengan berbagai kebijakan, sesuai zaman dan pemerintahannya, akhirnya dihadapkan dengan kondisi yang serba mengkhawatirkan, mulai dari ancaman krisis pangan hingga krisis energi yang ramai jadi perbincangan.
Tak terkecuali dengan persoalan dan dampak turunannya, sehingga forum dunia internasional menyerukan pada semua negara untuk bergandengan tangan menurunkan emisi gas karbon untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE)” pada 2060.
Sementara Indonesia sebagai salah satu negara yang menjadi sorotan dunia, karena dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun pemanfaatannya kurang optimal, bahkan sebaliknya, lebih banyak menuai dampak kerusakan lingkungan.
Kampanye penggunaan energi ramah lingkungan alias energi hijau pun sudah menjadi kampanye dunia yang kemudian ditularkan ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hal itu dilakukan sebagai salah satu upaya menekan energi yang tidak ramah lingkungan, seperti energi fosil, yang selain memiliki kapasitas terbatas, juga menimbulkan polusi. Sementara limbah maupun asap yang ditimbulkannya menjadi ancaman bagi semua makhluk hidup.
Sadar atau tidak, sudah miliaran barel minyak dan gas bumi keluar dari perut Bumi Nusantara yang nota bene menjadi sumber pendapatan dan motor penggerak perkonomian negara setiap tahun.
Namun ketika isu pemanasan global di era awal 2000-an mencuat, maka salah satu yang menjadi sumber persoalan adalah energi yang bersumber dari energi fosil.
Mencermati hal itu, kebijakan demi kebijakan pemerintah pun terbit untuk menjadi dasar dari suatu solusi di lapangan.
Tercatat pada 2010 – 2012, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) digencarkan program bahan bakar nabati (BBN) dengan menyasar sejumlah tanaman sebagai sumber energi yang dapat menggantikan energi fosil.
Tanaman itu, mulai dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) hingga nyamplung (Calopyllum inophyllum), yang dinilai potensial menjadi energi biodiesel dikembangkan di sejumlah daerah, mulai dari wilayah Barat Indonesia hingga wilayah Timur Indonesia.
Salah satu proyek untuk mendukung energi hijau itu berlokasi di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Pabrik pengolahan pun dibangun senilai miliaran Rupiah pada 2010, namun kondisi di lapangan tidak mendukung terjadinya kesinambungan produksi, sehingga pabrik pengolah minyak nyamplung itupun kini menjadi barang rongsokan.
Padahal, menurut peneliti senior dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Teknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup, Budi Leksono, potensi minyak nyamplung sebagai BBN mencapai 20 ton per tahun dan itu sudah diteliti di tujuh pulau di Indonesia sebagai sampel.
Potensi itu dibenarkan oleh peneliti muda asal Balai Besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar C Andriyani Prasetyawati.
Dia mengatakan, kurang lebih dua tahun berada di Pulau Selayar meneliti tanaman nyamplung dan hasilnya pulau tersebut memiliki potensi besar mengembangkan BBN, hanya saja kurang dikembangkan masyarakat akibat berbagai kendala, salah satunya kendala pemasaran.
Kini, pergeseran waktu sekitar 20 tahun silam telah membawa pada penemuan baru untuk menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan, seperti tenaga surya, tenaga bayu, tenaga air, gas, panas bumi dan sebagainya.
Kehadiran sepeda motor listrik, mobil listrik, bajaj menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar, bola lampu dan alat rumah tangga dengan sumber energi matahari atau pun biogas dari kotoran ternak sapi, pelan tapi pasti akan menggeser peran BBM dari fosil menjadi sumber energi baru terbarukan (EBT).
Sebagai contoh, salah seorang pengguna energi hijau di Desa Samangki, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulsel, Basir mengatakan, sudah hampir 10 tahun tidak membeli gas elpiji lagi untuk keperluan memasak di dapur, karena sudah digantikan dengan energi biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak sapinya. (Ant)